Bagi Bangsaku, Indonesia!

Written by administrator on . Posted in Artikel

Chuck Mcillhenny, seorang pendeta yang melayani Gereja Presbiterian Ortodoks di San Fransisco, suatu kali menceritakan pengalamannya ketika suatu hari ia duduk sambil membaca surat kabar. Ia kemudian mengetahui bahwa esok hari, dewan kota San Fransisco akan menggelar sebuah pertemuan guna membahas sebuah masalah penting: hak-hak kaum homoseksual. Ia berpikir, “Saya tidak boleh hanya duduk-duduk di sini dan membiarkan hal itu diloloskan begitu saja.” Ia tidak membawa massa. Ia tidak membawa plakat apa pun. Ia tidak bergerak melawan mereka, padahal banyak di antara mereka yang bergerak melawan dia. Memang sudah biasa baginya dalam pelayanan, disela oleh kaum lesbian dan homoseksual. Bahkan, rumahnya pernah dilempari bom sehingga kamar tidur anak-anaknya harus dibangun seperti sebuah bunker untuk melindungi mereka dari api. Namun, ia merasa ia perlu pergi ke pertemuan dewan kota itu.

Sesampainya di sana, ia duduk mendengarkan pengesahan undang-undang tersebut. Ketika dewan kota hendak memungut suara, ketuanya berkata, “Adakah yang ingin mengemukakan sesuatu?” Awalnya tidak ada seorang pun yang bergerak. Namun kemudian Chuck berdiri dan berkata, “Saya ingin mengemukakan sesuatu.” Ia kemudian berjalan ke atas mimbar, memperkenalkan dirinya dan mulai berkata, “Saya tidak ingin mengatakan apa-apa untuk diri saya sendiri, tetapi hanya ingin mengutip dari tiga pribadi yang saya hormati selama bertahun-tahun.” Apa yang Chuck lakukan? Ia membaca kutipan dari kitab Imamat yang ditulis oleh Musa, kutipan dari salah satu Mazmur Daud dan kutipan dari Paulus dalam surat Roma pasal 1 dan langsung menutup Alkitabnya.

Kemudian ada yang bertanya, “Tunggu, sebelum Anda duduk, siapakah orang-orang itu: Musa, Daud dan Paulus?” Lalu kemudian ada yang menimpali, “Anda sedang membaca dari Alkitab, bukan?” “Chuck menjawab, “Ya, saya membaca dari Alkitab.” Salah seorang anggota dewan kemudian tiba-tiba berkata, “Saya menyatakan tidak setuju dengan pengesahan undang-undang ini.” Lalu kemudian yang lainnya mengikuti tidak setujuan itu. Akhirnya, undang-undang itu tidak jadi disahkan dan Chuck Mcillhenny pun duduk.

Menemukan orang seperti Chuck pada zaman sekarang sangatlah langka. Jika adapun, hidupnya sepertinya “tidak akan sejahtera.” Ia mungkin hidup dalam bahaya dan ancaman yang tidak ada habis-habisnya. Ada harga yang mahal yang harus ditanggung oleh orang-orang seperti Chuck, yang berani menyuarakan kebenaran. Mengapa orang-orang yang ingin menyuarakan kebenaran selalu dikecam? Bukankah banyak orang berteriak agar kebenaran dan keadilan ditegakkan? Tapi, pada waktu ada orang yang mau menegakkannya, mengapa malah ia bukannya didukung tapi malah dibungkam? Tidak perlu heran, memang itulah kondisi dunia dan manusia yang sudah korup oleh dosa. Masalah seperti ini adalah masalah klasik. Bukan baru muncul pada era Chuck atau pada zaman sekarang.

Alkitab mencatat kisah seorang nabi yang juga harus bergumul keras dengan kondisi ketidakbenaran. Ia adalah Yeremia, seorang nabi yang banyak menderita termasuk secara perasaan. Ia sangat mengasihi umat Israel namun kasihnya bertepuk sebelah tangan. Ketika Yeremia menerima pesan bahwa Allah akan mendatangkan hukuman kepada orang Israel karena ketidaktaatan mereka, Yeremia tidak dapat berhenti untuk memberitakan kebenaran. Ia sekuat tenaga berusaha untuk membawa bangsanya kembali kepada Tuhan.

Namun, ketika Yeremia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan perasaan untuk bangsanya, ia harus menerima kenyataan bahwa ternyata ia ditolak mentah-mentah. Kasihnya seolah-olah tidak dibutuhkan oleh orang Israel. Dalam Yeremia 11:8 dikatakan dengan jelas bahwa orang Israel lebih memilih untuk menolak melakukan perintah-perintah Tuhan daripada bertobat oleh karena pemberitaan Yeremia. Jangankan melakukan perintah Tuhan, memperhatikan perintah-Nya saja pun mereka tidak mau. Mereka lebih memilih untuk mengikuti kedegilan hati mereka yang jahat. Mereka mengingkari perjanjian yang telah dibuat di hadapan Tuhan dan kemudian mengikuti dan beribadah kepada allah lain (10-11). Apa efeknya kepada Yeremia? Jika Tuhan dan firman-Nya sudah ditolak oleh orang Israel, apalagi utusannya. Tidak heran jika akhirnya mereka merencanakan permufakatan untuk membunuh Yeremia. Dalam ayat 19, Tuhan menunjukkan kepada Yeremia rencana pembunuhan atas dirinya sendiri, “Marilah kita binasakan pohon ini dengan buah-buahnya. Marilah kita melenyapkannya dari negeri orang-orang hidup, sehingga namanya tidak diingat orang lagi.” Ini adalah sebuah upaya pembunuhan total. Yeremia, dan semua kenangan tentang dia, semua buah pelayanannya akan dihapus di tempat kelahirannya, Anatot, oleh orang-orang yang ia kasihi!

Seorang penulis pernah merangkum kehidupan Yeremia dengan kalimat seperti ini, "Tidak pernah manusia fana memperoleh beban yang begitu meremukkan. Sepanjang sejarah bangsa Yahudi tidak pernah ada teladan kesungguhan yang begitu mendalam, penderitaan tak henti-hentinya, pemberitaan amanat Allah tanpa takut, dan syafaat tanpa kenal lelah dari seorang nabi seperti halnya Yeremia. Tetapi tragedi kehidupannya ialah: bahwa ia berkhotbah kepada telinga yang tuli dan menuai hanya kebencian sebagai balasan kasihnya kepada orang-orang senegerinya" (Farley). Yeremia, sang nabi peratap harus menelan kenyataan pahit dari upayanya untuk melakukan dan menghidupi kebenaran yang ia kumandangkan.

Bukankah rasanya tidak ada gunanya berbicara kepada bangsa yang tuli? Tapi Yeremia tidak berhenti! Dalam pasal 12 dan seterusnya kita akan menemukan betapa teguhnya hati Yeremia dalam menyerukan apa yang benar kepada bangsa Israel. Yeremia tahu bahwa ia tidak sendirian. Yeremia hanya tahu: Tuhan yang memanggil dia akan menolong dia (Yeremia 11:20). Yeremia tahu, bagiannya adalah menyuarakan kebenaran, sisanya menjadi bagian Tuhan.

Sepanjang zaman, menyuarakan kebenaran tidak pernah mudah. Tetapi dunia ini membutuhkan orang-orang yang tidak diam dan cari aman apalagi ikut serta dalam perbuatan ketidakbenaran. Hati Yeremia yang sangat mengasihi dan peduli dengan kehidupan bangsanya harusnya ada di dalam hati orang-orang percaya, termasuk kita yang ditempatkan di Indonesia. Lihatlah kondisi bangsa kita. Korupsi dalam skala kecil hingga besar merajalela. Orang tidak lagi sungkan untuk merencanakan permufakatan jahat yang merugikan orang lain dan Negara. Orang-orang yang berpikir hanya untuk menggemukkan dirinya sendiri tanpa peduli akan keadaan orang lain ada di sekitar kita. Hak Asasi Manusia digunakan sebagai senjata untuk melegalkan perbuatan dosa. Haruskah kita diam saja? Seandainya Kristus hidup pada zaman sekarang, apakah Kristus akan diam saja? Sebagai pengikut-Nya, tidakkah seharusnya hati kita tergelitik dan resah untuk melakukan kebenaran-Nya? Apa yang akan terjadi jika tidak ada orang yang berani menyuarakan kebenaran? Seorang penulis pernah berkata, “Akhir dari sebuah era ditandai dengan tidak adanya orang yang berani menyuarakan kebenaran.” Kita bukan dipanggil menjadi pahlawan kesiangan. Kita dipanggil untuk menyuarakan kebenaran karena kita adalah orang yang hidupnya sudah dibenarkan dan seharusnya hidup dalam kebenaran. Kristus adalah kebenaran. Ia berdiri untuk kebenaran. Apakah kita berdiri untuk kebenaran juga? Bangsa kita butuh orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dan hidup dalam kebenaran; orang-orang yang tidak ikut-ikutan melanggar peraturan pemerintah; yang tidak merendahkan bangsanya sendiri. Bangsa ini butuh orang-orang yang berani berdiri dan bersikap benar! Adakah engkau penduduk Indonesia yang demikian?

Dalam merayakan ulang tahun Republik tercinta tahun ini, biarlah doa kita bukan saja sekadar pada hal-hal materi: pemulihan ekonomi, pemerintah yang peduli pada rakyat dan hal-hal lainnya yang sebenarnya mengarah pada kesejahteraan pribadi. Namun, doa kita diarahkan untuk orang-orang yang dibangkitkan kesadarannya untuk ikut berperan dalam pembangunan bangsa ini, seperti yang dituliskan oleh seorang bernama Josiah Gilbert Holland dalam salah satu puisinya yang berjudul, “Tuhan, Beri Kami Orang-orang.”

Tuhan, beri kami orang-orang!
Masa seperti ini menuntut pikiran yang kuat, hati yang besar,
iman yang benar, dan tangan yang sigap serta patut;
Orang-orang yang tidak terbunuh oleh gairah tugasnya;
Yang tidak terbeli oleh jarahan dalam tugas;
Orang-orang yang teguh dalam pendapat dan kemauannya;
Orang-orang yang terhormat, tak mengumbar dusta culas;
Yang mampu menghadapi penghasut rakyat
dan mengutuki pujiannya tanpa main mata!;
Orang-orang besar, bermahkotakan cah’ya mentari, tak terganggu kabut pekat,
Bertanggungjawab dalam masyarakat dan pemikiran pribadinya;
Sebab para perusuh dengan kredo muluk keji;
Orang-orang yang banyak bicara sedikit kerja;
Ikut bergabung dalam perjuangan kami demi kepentingan diri!
Oh, kemerdekaan meratap, kejahatan meraja, dan keadilan tidur dalam penantiannya.

Semoga kita menjadi orang-orang yang demikian.
Dirgahayu Indonesiaku!

Ev. Sondang Silaban